“Menulis….!”.” Ah…, Malas…..Cape lagi…!”
Seperti itulah kira-kira ungkapan yang akan terlontar oleh kita saat
mendengar kutipan kata yang bergaris bawah tersebut diatas. Yah, memang
budaya menulis adalah job yang kini terabaikan dan terinjak-injak oleh
budaya yang semakin canggih dan semakin serba bisa. Budaya yang dulunya
marak oleh para pendahulu kita kini ditinggalkan dan terusik. Pantas
saja kalau kita lihat tulisan-tulisan tangan ayah-ibu kita begitu indah
dan tersusun rapi, karena budaya menulis mereka cukup baik dan memiliki
kemampuan dalam mengeluarkan ide sambil menggoreskan pena kesayangannya.
Coba kita lirik anak cucunenek moyang kita
sekarang ini yang telah terlarut dalam perkembangan zaman. Menulis nama
yang notabene satu kata saja di sertifikat mungkin pusing, apalagi jika
menulis biodata sebagai salah satu syarat dalam melamar pekejaan, masih
untung kalau bisa diketik computer tapi kalau tidak bisa, ujung-ujungnya
yang bergerak adalah rupiah juga, mencari orang-orang yang memiliki
skill dalam menulis. Lalu yang menjadi pertanyaan kita adalah apakah
yang kita lakukan selama ini. Berpuluh-puluh tahun kita mengecap dunia
pendidikan tapi sungguh sangat ironis ketika kita dihadapakan pada
kodisi diatas.
Bagi masyarakat awam mungkin budaya ini
masih dalam kewajaran bila terabaikan tapi bagaimana jika hal ini juga
terjadi pada calon-calon intelektual, dengan bangga mengaku civitas
kampus, tapi memiliki status pendengar setia. Bila kita melontarkan
pertanyaan seperti ini ”Berapa lembar catatan kuliahmu tadi pagi?”.
Barangkali ada yang tidak bisa menjawabnya lantaran modalnya sendiri
untuk datang ke kampus adalah pakain yang ala necis, farpum, sisir,
lipstick, dan dompet yang harus tebal. Bahkan sebatang pena dan selembar
kertas pun terasa lebih sulit untuk dikantongi daripada sebungkus class
mild dan selembar tissu.
Perkembangan teknologi yang semakin
cepat pada saat ini tidak akan merubah job ini semakin digemari. Dengan
bantuan computer, internet dan segala macamnya saja untuk membuat sebuah
paragrap tentang hidup kita masih terasa sesulit memecahkan batu
gunung. Tiap hari kita dihadapkan pada perkuliahan dengan bantuan powert
point, makalah tapi membuat selembar catatan kuliah pun masih pakai
keringat layaknya pelari seratus meter. Lalu bagaimana membuat skripsi
yang merupakan tugas akhir atau bahkan, tesis, dan disertasi? Apakah hal
ini tidak akan melahirkan skripsi-skripsi rakitan yang mencetak sarjana-sarjana rakitan menjadi pejabat-pejabat rakitan?
Kepada siapakah kita harus bertanya? Apakah Guru bahasa indosesia SD
kita ,SMP, SMA ataukah dosen pembimbing kita? Tapi sebelum tanya
mereka,tanyalah diri masing-masing.
Tak dapat dipungkiri bahwa budaya kita
sekarang itu adalah budaya yang semakin konsumtif yang kelebihannya
hanya bisa memakai, memakan, dan menghabiskan. Tidakkah kita bertanya
bahwa siapa yang memproduksi semua itu? Dan jika telah mengetahui
jawabanya, bisakah kita jawab lagi bahwa apakah saya bisa melakukannya?. Tiap hari mungkin kita dengar dan
baca berita dari berbagai media, baik itu visual maupun audio-visual
danyang selalu kita pertanyakan berita apa yang menarik hari ini? Kita
tidak pernah pertanyakan bahwa siapa yang meliput sehingga berita itu
menarik dan bagaimana dia melakukannya? Itu artinya kita senangnya
mengkonsumsi saja.
Posting Komentar
Koment ya Bro and Sist..!!!